
Setelah pembacaan Maulid Nabi Simtudduror, Jamaah khusyuk mengikuti dzikir berjamaah bersama Habib Luthfi. Setelah itu dilanjutkan dengan tausiyah. Berikut ini transkrip dari kami:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, washolatu wasalamu’ala asyrafil ambiyai wal mursalin, wa ‘ala aalihi, wa shohbihi ajma’in amma ba’du
Berkata Kyai Mushonnif, Sayyid Ahmad di dalam kitab yang baru saja dibaca setiap Jum’at Kliwon – Jami’ul Ushul Fil Auliya’ – menerangkan peranan akal, yang disini pada waktu Jum’at Kliwon hari ini membahas akal. Apabila sudah kehilangan cahaya, cahaya yang dimaksud disini adalah nurul ma’rifah sebagaimana di dalam kitab Wirdul Kabir yang mana wirid-wirid tersebut mengambil dari ahaditsin nubuwwah di situ ada salah satu doa
allahumma ahyi quluubana binuuri ma’rifatika wa mahabbatika
” Ya Allah, cahayailah hati kami dengan nur ma’rifah kepada-Mu dan mencintai-Mu.”
Hati yang tidak terlepas juga mempunyai peranan besar. Sangat memerlukan sekali dengan adanya nurul ma’rifah, supaya hati itu sendiri tidak menjadi hati yang “ghoflah“, hati yang lalai kepada Allah lalai kepada Rasul-Nya Salallahu’alaihi Wasallam.
Yang lalai kepada Allah itu bukan sekedar maksud: kita lalai berdzikir, tidak…
Banyak sekali kalau kita bahas, lalai mensyukuri apa yang telah diciptakan oleh Allah, sehingga diberikan kepada kita bagian rezeki kita semuanya.
Contohnya ketika kita ini makan, banyak mengucapkan alhamdulillah (setelah makan), tapi jarang orang mengatakan alhamdulillah (sebelum makan). Banyak orang mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. memang sunnah, sebelum makan. Tetapi alhamdulillah (ketika kita belum makan) walaupun rejeki ini belum sampai ke mulut, kenikmatan sehat wal afiyat
yang diberi oleh Allah sebelum menyuap [apa namanya] nasi ke mulut kita. Kita bersyukur atau tidak dengan kesehatan yang diberikan oleh Allah kepada kita?
Yang kedua, kita sadar atau tidak?
Bahwa apa yang akan menjadi rejeki kita, walaupun belum dimakan
Kita sadar, itu ciptaaannya siapa? {Allah}
Kalau kita sadar akan ciptaannya Allah dan menjadi rejeki kita pasti kita akan menghormati kepada Si Pemberi Rejeki. “Itu paling tidak”
Dari situlah, itu sudah menjadi dzikir sebelum makan. Kalau kita bahas lebih jauh lagi, sampai yang menanam dan lain sebagainya. Dan ketika kita menanam hanya tugas kita menanam saja. Tebar,,,, Tandur [tanam]
Kalau kita lihat sebatas kekuatan itu
Siapa yang menumbuhkan? {Allah}
Siapa yang menumbuhkan? {Allah} Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Akal ikhtiar hanya sebatas menanamkan.
Ini agak dewasa sedikit, orang mencampuri nafakah batiniah kepada istrinya, mengeluarkan suatu benda. Begitu masuk ke rahimnya sang ibu
ketika meneteskan satu nutfah. Lalu kita ditanya, tunjukkan kemampuanmu. Bisakah kita mengelir, mewarnai nuthfah yang kita masukkan kepada istri kita. Supaya hidungnya mancung? Supaya matanya “mblalak” seperti khuril ‘ain atau kayak bintang film siapa… mampu tidak {tidak}. Mungkin perutnya kasih bedak yang putih, biar anaknya putih, gitu ya? [tidak mampu]
Sebetulnya disitu adalah diingatkan oleh Allah Ta’ala, ditantang oleh Allah Ta’ala. Kekuatan akalmu itu tundukkanlah, tunjukkan coba. kalau kamu merasa kuasa, merasa kuat, tunjukkan buktinya,,,,,
sperma yang telah masuk janin tersebut, ke rahim calon sang ibu,
Kami sudah menyerah, mau jadi hitam (kek), mau putih (kek), mau merah (kek). Terserah kepada Yang Maha Kuasa
Karena tahu kalau ini terserah kepada Yang Maha Kuasa, Nurul Ma’rifah itulah yang mulai bekerja. Yang mulai menuntun hati kita kenal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu juga yang kita makan. Nah, akal sama.
Allahumma ahyi aqlina wa ra’yuna
“Hidupkanlah akal kami Ya Allah, padangan kami Ya Allah Ya Rabb
bi Nuuri Ma’rifatika
sehingga kita melihat Al Qur’an, Hadits dan lain lainnya, yang menerangi
dalam akal kami selalu kepada Nurul Ma’rifah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Yakin dan sadar, apapun yang dinamakan akal adalah makhluk. Tempatnya kekurangan. Tidak ada akal yang sempurna. Karena apa? Setiap selain Allah, adalah makhluuqun, hawaadiitsun, dhaiifun. Maka disinilah Rasulullah sangat mengkuatirkan sekali, sampai bersabda, “barangsiapa menafsirkan Qur’an dengan hasil mata kepala sendiri siap-siap sajalah untuk duduk di api neraka.” man fasaral qur’ana bi ra’yihi itu haditsnya sangat kuat.
Karena apa? kalau ra’yi-nya sudah meninggalkan daripada Nurul Ma’rifah (cahaya Ma’rifah kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Kalau selalu ini menerangi selalu akan menjadi sebab menuntun kita, bisa melihat…
[Ini mafahim, paham saya yang terlau keras]
[oh ini faham saya, belum tentu orang awam bisa mencerna]
[oh ini faham demikian kalau saya tafsirkan demikian]
[orang-orang yang masih dipendidikannya rendah sekali, belum tentu memahaminya]
Ini ma’rifah, karena apa? Seorang ulama, tetap akan bertanggung jawab dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jangan dikira, kita pengaruh yang begini banyak pengajian, yang luar biasa.
Yang kita dapati, kalau kita kecolongan atau kecurian, ini akan masuk ke hati kita dengan lembut sekali. Mengatakan, “nih pengaruh saya hebat besar sekali yang mengikuti Jum’at Kliwon”, sambil menepuk dada.
“belum kenal lu sama Habib Luthfi”, mestinya gitu?
Ini sudah mulai kehilangan Nurul Ma’rifah. Tapi kalau kembali kepada Nurul Ma’rifah justru inilah tanggung jawab kami di akhirat, bukan didunia saja… tanggung jawab kami besar, kalau kita naik podium kita sambil mikir
“para saudara-saudara”, umpamanya saya lho ini…. “tebal atau tidak amplopnya….”
Tapi coba hitunglah, ini biarpun amplopnya tebal. Kalimat per kalimat ucapan saya itu kelak akan dituntut dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tanggung jawab kita kepada ummat sangat besar.
Bilamana Nurul Ma’rifah ini sudah mulai membimbing kita, InsyaAllah kita semoga menjadi golongan orang-orang yang selamat min dzimmi ra’yi celakanya pandangan akal.
Selanjutnya…..dan selanjutnya…
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh